SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PARIWISATA HALAL DI SUMATERA BARAT

Widadi Handoyo Sekretaris Excecutive PPHI DPD Sumbar

Sejarah Pariwisata Halal Sumatera Barat | Wisata Halal Sumbar. Oleh: Widadi Handoyo ( Sekretaris Executive DPD PPHI Sumatera Barat dan General Manager di Hotel Rangkayo Basa Group ) Wisata halal adalah sebagai implementasi dari UU No 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal, yaitu mencakup barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetic, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Lebih jauh lagi, wisata halal merupakan Extended Service dan Fasilities atau pelayanan tambahan yang diperuntukan bagi wisatawan muslim yang selama ini belum terfasilitasi, baik untuk sholat, fasilitas umum yang mudah dan nyaman, restoran halal, penginapan yng muslim friendly dll. Di dalam masyarakat minangkabau wisata halal sangat bekesuaian, wisata halal adalah merupakan bagian dari Syariah, dan Syariah sendiri telah menjadi falsafah kehidupan orang Minangkabau, yang dijabarkan pada ABS-SBK-SMAM-ABSB ( Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah – Syara’ Mangato Adat Mamakai – Adat Bapaneh Syara’ Balinduang ) KONSEP PENGEMBANGAN PARIWISATA HALAL Wisata halal ini merupakan layanan tambahan bagi wisata muslim yang akan melakukan perjalanan wisata, dan layanan tersebut harus yang mudah dan nyaman untuk kebutuhan harian bagi wisatawan muslim,mulai dari bandara, selama perjalanan, daerah tujuan wisata, penginapan, tempat belanja, antara lain: Dari kesembilan kreteria di atas, suatu destinasi bisa di katakan destinasi halal minimal memenuhi 3 unsur teratas. SEJARAH PARIWISATA HALAL SUMATERA BARAT Cerita sejarah pariwisata halal di Sumatera Barat di mulai pada tahun 2014, mulai diadakan FGD ( Forum Groups Discussion ) di Sumatera Barat dan selanjutnya di susul dengan sosialisasi yang berkelanjutan. Wisata halal di sumatera barat mulai booming atau semacam mendapatkan boster, yaitu pada tahun 2016 Sumatera Barat mendapatkan 3 penghargaan, yaitu sebagai; Selanjutnya pada tahun 2020 terbit PERDA PARIWISATA HALAL NO.1 TAHUN 2020, dan disusul pada 2022  terbit Peraturan Gubernur No.19 tahun 2022 Berkaitan Dengan Pelaksanaan Perda No.01/2020 tentang penyelenggaraan pariwisata halal. Perkembangan atau pengaruh di luncurkannya program pariwisata halal di Sumatera Barat, antara lain; SEJARAH PARIWISATA HALAL INDONESIA Bicara wisata halal di Sumatera Barat tidak lengkap apabila tidak di lengkapi dengan sejarah wisata halal secara umum di Indonesia. Pada 2015 Indonesia pertama kali mengikuti World Halal Tourism Award (WHTA) dan Global Tourims Index (GMTI) . Indonesia saat itu mendapatkan 2 penghargaan Lombok NTB ( Best Halal Destination ) dan  Best Hotel Muslim Friendly yang diraih oleh Sofyan Hotel Jakarta. Selanjutnya pada 2016 Indonesia memborong 12 penghargaan pada ajang yang sama. Tiga kategori di antaranya di raih oleh Sumatera Barat, secara rinci berikut 12 kategori yang di maksud: Penghargaan Pariwisata Halal Indonesia Lainnya Pada tahun 2017 lagi lagi Pariwisata Halal Indonesia menduduki TOP 3 dari ajang GMTI. Indonesia menetapkan  10 daerah tujuan wisata halal Indonesia, yaitu; Jakarta, Riau, Lombok, Sumatera Barat, Aceh, Jawa Tengah,Yogya Malang, Makasar. Dari 10 tersebut ada 5 daerah tujuan wisata halal unggulan, yaitu: Aceh, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Riau ( kepri ) Lombok NTB. Tahun 2019 merupakan puncak prestasi yang di raih oleh Pariwisata Halal Indonesia yaitu  menduduki peringkat ke-1  bersama Malaysia dengan nilai yang sama pada Global Muslim Travel Index. Pada 2019 Indonesia juga meluncurkan IMTI (Indonesia Muslim Travel Index ) pada tahun 2020 terjadi pandemi COVID-19 sehingga acara GMTI ditiadakan. Pada tahun 2021 prestasi pariwisata indonesia turun peringkat di urutan ke-4, urutan pertama tetap Malaysia. Kendala Pariwisata Halal Setiap usaha atau program sudah dipastikan selalu ada kendala, begitu juga pariwisata halal ini. Kendala-kendala yang timbul antara lain: Dengan pengalihan wewenang  penerbitan sertifikat halal dari MUI ke Kementerian Agama. Biaya lebih tinggi, secara proses juga lebih sulit karena belum ada kesiapan di Lembaga Penjamin Halal ( LPH ) di setiap daerah, hal ini sedikit banyak menjadi kendala bagi para pelaku industri. Kemudian kendala lain, belum semua masyarakat sadar pentingnya sertifikat halal, karena beranggapan di sumatera Barat yang mayoritas muslim, sudah beranggapan semuamakan halal, padahal makanan olahan melalui proses yang belum tentu halal proses dan zat tambahannya. Selanjutnya kebanyakan wisatawan masalah halal belum menjadi pertimbangan sebagai pilihan, berbeda jika berkunjung ke daerah yang mayoritas NON muslim, masalah serttifikat halal pasti sangat di cari. Maka dari itu wisata halal di daerah yang mayoritas muslim agak susah berkembang. Baca Juga : PERS RELEASE PARIWISATA HALAL SUMATERA BARAT